AMBON-
Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini jadi isu nasional dan sementara menunggu hasil pembahasan di DPR RI. Namun BPJS Kesehatan Kantor Wilayah Provinsi Maluku mengharapkan adanya kesamaan persepsi dengan pemerintah daerah terkait Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun 2019.
“Perpres ini perlu disosialisasikan, bagaimana pun pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten kota adalah pelaksana regulasi pemerintah pusat. Sementara kami hanya sebatas menyampaikan bahwa ini lho ada Perpresnya,” kata Plt Kepala BPJS Kesehatan Provinsi Maluku dr Andi Muhammad Dahrul Muluk kepada infomalukunews.com, Senin (11/11) ditemui di kantornya.
Disampaikan dr Andi, pihaknya masih menunggu hasil pembahasan di DPR RI menyangkut kenaikan iuran BPJS Kesehatan, terutama untuk segmen peserta Kelas III. Seperti diketahui, kenaikan iuran ini telah menimbulkan polemik termasuk soal Perpres 75 Tahun 2019, dan masih alot di DPR RI.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi bagi pihaknya, kata dr Andi, sosialisasi soal Perpres dimaksud tidak kalah pentingnya di daerah. Karena itu, diharapkan dukungan Pemprov Maluku maupun Pemda kabupaten/kota untuk sosialisasi Perpres tersebut.
Diakui kewenangan BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi atas Perpres ini relatif terbatas, sehingga diharapkan lebih berperan adalah Pemda Provinsi Maluku dan Pemda Kabupaten/Kota.
Dilansir dari BBC News Indonesia, setelah menggelar rapat dengan pemerintah dan BPJS Kesehatan hingga Jumat (08/11) dini hari, DPR RI menolak kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta kelas 3 yang diatur dalam Perpres 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Apakah penolakan itu bisa membatalkan perpres yang sudah ditandatangani presiden pada 24 Oktober lalu?
Pakar hukum tata negara, Margarito Khamis, mengatakan bahwa yang bisa membatalkan perpres yaitu presiden sendiri atau keputusan Mahkamah Agung (MA).
“(Jika) presiden memiliki kesadaran bahwa ini (perpres), katakanlah, memberatkan masyarakat – atau apapun pertimbangan beliau – lalu beliau cabut, maka pencabutan itu hanya bisa dilakukan dengan menerbitkan perpres baru, perpres tentang pencabutan perpres kenaikan iuran BPJS,” tutur Margarito kepada BBC News Indonesia (08/11).
“Yang kedua, siapa yang tidak menyetujui (perpres itu) silakan membawanya ke Mahkamah Agung, judicial review ke MA. Tidak ada cara lain selain dua itu.
Sejauh ini, Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun 2019 telah digugat ke MA oleh seorang peserta BPJS Kesehatan asal Surabaya bernama Kusnan Hadi melalui Pengadilan Negeri Surabaya.
Sementara di Senayan, selain menolak kenaikan iuran, anggota dewan juga meminta pemerintah mencari alternatif lain untuk menutup defisit BPJS Kesehatan yang menjadi salah satu dasar kenaikan jumlah iuran.
Seperti diketahui, kenaikan iuran BPJS berlaku untuk peserta kelas III dari Rp 25.500 jadi Rp 42.000, Kelas 2 dari Rp 51.000 jadi Rp 110 ribu. Sedang Kelas 1 dari Rp 80 ribu jadi 160 ribu per bulan yang harus disetor agar aman dalam pembiayaan kesehatan jika peserta jatuh sakit.(pom)