Bapak Presiden dan Ketua DPR yang terhormat.
Pertama-tama dan terutama, saya do’akan Bapak dan Ibu berserta keluarga semoga selalu sehat walafiat dan diberi perlindungan serta ketangguhan oleh Allah Swt, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab Negara di tengah dinamika ketatanegaraan di warnai dengan carut marut.
Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Ketua DPR Puan Maharani yang terhormat.
Perkenankan saya melontarkan pandangan selaku warga Negara Indonesia, terkait pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di tengah bangsa masih di landa Pandemic Covid-19. Hal ini berimplikasi pada iklim dinamika sosial yang tidak kondunsif. Semoga buah ide dan gagasan ini menjadi masukan yang produktif dan konstruktif, serta mengandung nilai kebermanfaatan bagi penyelesaian problematika bangsa.
Pertama, pemerintah dan DPR serta seluruh elemen bangsa, perlu memiliki satu kesamaan visi dan pandangan bahwa kepentingan dan kedaulatan rakyat harus menjadi porsi pertama dan utama yang di prioritaskan dari segala kepentingan lain. termasuk kepentingan pemerintah, DPR, oligarki, dan kapitalis.
Mencermati iklim dinamika ketatanegaran pasca pengesahan Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja, pada tanggal 5 Oktober 2020. Mengundang aneka kritikan dan ragam presfektif serta memantik kemarahan dari berbagai elemen bangsa, baik itu masyarakat sipil, buruh, mahasiswa hingga ratusan akademisi yang terdiri dari para guru besar, dekan dan dosen. Saat ini aksi demonstrasi terus bertumpah ruah di seluruh pelosok tanah air, dan terkonfirmasi kurang lebih 67 perguruan tinggi menyatakan sikap, menolak pengesahan Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja tersebut.
Sebagaimana di ketahui penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ternyata tidak hanya mengalir dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Salah satunya dari ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) yang ikut menyampaikan sikap terhadap pengesahan Undang-undang tersebut. “APHR meminta bapak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan Undang-undang ini, mereka menilai bahwa tujuan dari Omnibus Law tersebut jelas yaitu untuk mendongkrak investasi asing dengan mengorbankan hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup.
Mereka menegasksn lagi “Undang-undang ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata,”
Dengan melihat warna-warni sikap berbagai elemen bangsa termasuk dari luar negeri atas penolakan Undang-Undang Omnibus law cipta kerja, mengkonfirmasikan bahwa Undang-Undang tersebut dikhawatirkan akan lebih menguntungkan kepentingan oligarki dan kapitalis, ketimbang pro rakyat. Undang-undang tersebut juga di pandang sebagai monster sapu jagat, yang nantinya akan menghisap kekayaan sumber daya alam kita secara konstitusional.
Selain itu, Undang-Undang tersebut di nilai cacat prosedur dan substansi. Sehingga hal ini, perlu menjadi pertimbangan Pemerintah dan DPR untuk membatalkannya lewat penerbitan Perppu oleh Presiden.
Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Ketua DPR Puan Maharani yang Terhormat
Kedua, sebelum Undang-undang Omnibus law cipta kerja dapat berlaku dan berdampak terjadinya kegaduhan dan keresahan berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di masyarakat. Sebaiknya, bapak Presiden Joko Widodo harus membuka ruang dialog dengan berbagai elemen bangsa terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
Karena selama ini pengamatan rakyat terhadap Proses pembentukan hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, tidak partisipatif dan terlihat tertutup. Sehingga wajar masyarakat dari berbagai elemen bangsa, menolak keras atas pengesahan Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja.
Proses pengesahan Undang-undang omnibus law cipta kerja, terindikasi bertentangan dengan salah satu asas dalam Pasal 5 sebagaimana termaktub secara eksplisit di Undang-Undang No.12 tahun 2011 sebagaimana perubahannya, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Yakni, asas “keterbukaan”, asas keterbukaan mengandung arti adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang selebar-lebarnya, untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bapak Presiden, harus lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi iklim dinamika ketatanegaraan saat ini. Pada saat Undang-Undang itu disahkan memantik kemarahan rakyat di seluruh penjuru nusantara republik ini, untuk turun jalan melakukam aksi demonstrasi. Apalagi aksi demonstrasi di lakukan selama ini, terjadi anarkisme oleh oknum-oknum penumpang gelap yang tidak bertanggungjawab, sehingga mengakibatkan kerugian puluhan miliard.
Karena itu, menjadi salah satu pertimbangan Bapak Presiden, untuk membatalkan Undang-Undang Omnibus Law cipat kerja melalui Perppu.
Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, sikap kebijaksanaan beberapa kepala Negara di dunia, atas kondisi dinamika ketatanegaraan penuh carut marut di negaranya. Mereka telah memilih mengundurkan diri dari jabatan, demi menjaga stabilitas keamanan negara dan ingin memberikan rasa kenyamanan kepada rakyat.
Para pemimpin dunia itu, mundur bukan karena di vonis melakukan pelanggaran hukum berat atau pengkhianatan terhadap negaranya. Melainkan mereka tidak ingin terjadi kekacauan dalam negara dan kegaduhan berkepanjangan di masyarakat.
Iklim dinamika ketatanegaran bangsa saat ini, hampir sama dengan yang terjadi di negara-negara tersebut. Namun lewat aksi demonstrasi selama ini, rakyat tidak menuntut lebih dari bapak Presiden memundurkan diri dari jabatan. Tapi, rakyat hanya butuh sikap kebijaksanaan dan kebijakan pro rakyat sebagai seorang Presiden, untuk membatalkan Undang-Undang tersebut melalui penerbitan perppu.
Rakyat sangat berharap bapak Presiden, harus membuka ruang siraturahim dan dialog dengan berbagai elemen masyarakat, sebelum menganjurkan judicial review Undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pentingnya membuka ruang siraturahim dan dialog, karena dalam Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja mengandung 79 Undang-Undang, yang melebur dibahas secara bersamaan menjadi satu Undang-Undang Omnibus Law.
Langkah ini sangat penting di tempuh oleh bapak Presiden, agar tidak terjadi kegaduhan dan keresahan berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, ibu ketua DPR perlu mengatahui saat ini rakyat banyak di penjarakan oleh pihak kepolisian, karena terjadi disinformasi atau di duga menyebarkan hoaks terkait dengan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, ironisnya saat itu naskah asli Undang-Undang Omnibus law Cipta Kerja masih misterius, dan belum bisa diakses oleh publik untuk dicermati dan dipelajari secara baik.
Terkait kontroversi adanya beberapa versi naskah setelah Rancangan Undang-Undang Omnibus law cipta kerja, yang disahkan menjadi undang-undang bersumber dari ketua dan pimpinan DPR. Ada beberapa versi yang beredar sehingga menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat, yakni 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman, dan kemudian terakhir menjadi 812 halaman.
Ibu ketua DPR harus ketahui dalam ilmu peraturan perundang-undangan, perubahan terhadap titik koma saja sudah bisa mengubah makna dari suatu norma pengaturan, apalagi terjadi penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan.
Sehingga perlu di pertanyakan sebenarnya dasar hukum yang di gunakan polisi, untuk menangkap pelaku menyebarkan hoax itu apa ? Bagaimana mungkin mereka di tuduh buat hoax, sedangkan saat itu jumlah halaman dalam naskah Undang-undang tersebut, versi yang di sampaikan oleh pimpinan dan sekjen DPR belum final dan masih berubah-rubah.
Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Ketua DPR Puan Maharani yang Terhormat
Keempat, menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Maka legitimasi eksistensi kekuasaan pemerintah adalah berasal dari rakyat. Teori kedaulatan rakyat menganggap bahwa kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber kekuasaan bagi pemerintah. Oleh karena itu, rakyat memberikan kekuasaan pada para wakil rakyat yang menduduki organ legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat.
Bagaimana mungkin ibu ketua DPR dapat melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat berdasarkan teori kedaulatan di atas. Kalau dalam sidang paripurna pada saat proses pengesahan Undang-undang omnibus law cipta kerja saja, ibu ketua DPR tewaskan mik microphone dan tidak mau mendengar suara sesama wakil rakyat dalam satu ruangan. Apalagi mau mendengar jutaan suara rakyat, di seluruh pelosok penjuru nusantara republik ini.
Sejauh ini pemerintah dan DPR selalu mengklaim Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja, orientasinya untuk kepentingan rakyat dan mengatasi berbagai problematika sosial, tapi perlu di ketahui oleh ibu ketua DPR, bahwa persoalannya ialah mekanisme penyusunannya menabrak rel-rel hukum dan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagainana perubahannya tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, pada saat pengesahan Undang-Undang tersebut, terkonfirmasi beberapa anggota DPR dari fraksi PKS dan Demokrat tidak memeliki naskah asli Undang-undang. Pembahasan dalam rapat pun, sangat tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Proses pengesahan Undang-undang tersebut tentunya, selain bertentangan dengan asas “keterbukaan” juga bertentangan dengan asas “kejelasan rumusan” dalam Undang-undang No 12 tahun 2011 sebagaimana perubahannya, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Kelima, masyarakat sebenarnya bisa saja mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tapi setelah Undang-Undang Cipta Kerja tersebut disahkan (ditandatangani) oleh bapak Presiden Jokowi dan diundangkan dalam lembaran negara sebagai sebuah produk hukum Undang-Undang yang berlaku.
Selain itu, jika upaya Judicial Review Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja ke Mahkamah Konstitusi, melalui pengujian formil, dan apabila sesuai pengakuan anggota DPR dari fraksi PKS dan Demokrat, dengan membuktikan bahwa pada saat pengesahan Undang-undang tersebut, naskah finalnya belum ada dan mereka belum dibagi pada saat sidang paripurna.
Maka sangat memungkinkan, dinilai proses penetapan Undang-Undang tersebut, tidak sah dan bisa dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun, Bapak Presiden joko widodo dan Ibu Ketua DPR puan maharani, perlu diketahui bahwa yang dituntut oleh para buruh, mahasiswa, dan elemen bangsa lain selama ini yaitu, pembatalan Undang-undang tersebut melalui Legislative Review atau Executive Review, bukan judicial review. Oleh karena itu, tidak elok dan elegan kalau pemerintah hanya bisa menendang masalah Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja ke meja organ negara lain.
Dengan sikap Pemerintah dan DPR yang demikian mengmonfirmasikan, pemerintah dan DPR seolah menjadikan organ Mahkamah Konstitusi sebagai “asisten”. Seakan-akan masalah konstitusionalitas dari Undang-Undang dianggap hanya urusan Mahkamah Konstitusi saja, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas dan tanpa merasa bersalah melanggar hak konstitusional warga negara dalam produksi Undang-Undang tersebut.
Keenam, agar tidak terjadi erosi sosial dimana-mana sebagai reaksi atas kehadiran Undang-Undang tersebut, maka mestinya dari awal pemerintah dan DPR lebih bijak dalam membentuk sampai tingkat pengesahan Undang-Undang tersebut secara baik.
Proses pembentukan sampai pengesahan harus memperhatikan rumusan norma UUD NRI 1945, dan mengacuh pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam Undang-Undang No 12 tahun 2011 sebagaimana perubahannya, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, selain itu, tetap mendengar aspirasi rakyat Indonesia.
Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Ketua DPR Puan Maharani yang Terhormat
Ketujuh, bapak Presiden, jangan menggurui rakyat terkait upaya judicial review Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Para demonstran dan pihak-pihak terkait yang tidak setuju dengan proses pengesahan Undang-Undang itu, bukan kumpulan orang-orang bodoh yang bobby tidur saat rapat sehingga tidak mengerti tentang prosedural dan substansi pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Sikap penolakan terhadap Undang-undang omnibus law cipta kerja, bukan hanya datang dari buruh dan mahasiswa saja. Tap juga ada ratusan guru besar, dekan dan dosen dari berbagai perguruan tinggi ternama di indonesia dengan sikap yang sama.
Sorotan para pakar dan apa yang menjadi tuntutan para buruh dan mahasiswa, lewat aksi demonstrasi berjilid-jilid di seluruh pelosok tanah air selama ini ialah, mereka meminta kepada bapak Presiden dan DPR sendiri yang dapat membatalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Kehendak rakyat dalam proses pembatalan Undang-undang tersebut, agar dilakukan baik lewat mekanisme legislative review atau executive review, bukan ke Mahkamah Konstitusi melalui rel judicial review.
Sebagaimana di ketahui bahwa, dalam sistem ketatanegaraan kita proses judicial review di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya jurus untuk mengubah atau dapat membatalkan sebuah Undang-Undang.
Melainkan juga upaya pembatalan Undang-undang bisa di lakukan dengan cara lain, yaitu lewat legislative review atau executive review oleh DPR dan Presiden, sebelum Undang-undang tersebut dapat di sahkan (ditandatanangi) oleh bapak Presiden dan undangkan dalam lembaran negara.
Bapak Presiden Joko Widodo dan ibu Ketua DPR Puan Maharani, perlu di ketahui apa yang dituntut oleh para demonstran selama ini. Dalam teori hukum tata negara disebut dengan executive review dan legislative review atau pengujian produk legislasi oleh organ legislatif sendiri atau pembatalan Undang-undang oleh Presiden melalui perppu.
Dalam hal ini, DPR selaku legislator dan Presiden sebagai co-legislator. Jadi, esensi dari aksi demonstran meminta agar Undang-undang Omnibus law Cipta Kerja, dapat dibatalkan sendiri oleh organ DPR RI dan Presiden joko widodo sebagai pihak yang berwenang membuat undang-undang tersebut.
Oleh karena itu, mengingat Undang-Undang omnibus law cipta kerja saat ini telah di serahkan oleh organ DPR kepada pemerintah, maka mohon kiranya dengan segala pertimbangan bapak Presiden, agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) supaya Undang-Undang Omnibus law Cipta Kerja bisa dibatalkan dalam waktu dekat.
Aspirasi rakyat itu disebut dengan proses executive review atau peninjauan kembali produk hukum oleh pemerintah, hal ini sesuai dengan kewenangan di miliki oleh bapak Presiden.
Dengan demikian, semoga Undang-undang tersebut sebelum di tandatanangi oleh bapak Presiden dan di undangkan dalam lembaran negara atau berlaku secara otomatis selama 30 hari.
Semenjak Undang-undang tersebut di terima oleh Presiden, maka sangat di harapkan segala kebijaksanaan bapak presiden, dalam mempertimbangkan situasi dan kondisi ketatanegaraan kita saat ini.
Sehingga perlu menerbitkan perppu untuk membatalkan Undang-undang Omnibus law cipta kerja.
Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairat.
Wasalam
Paman Nurlette
Direktur Eksekutif, Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia