JAKARTA-Pengacara Fahri Bachmid, menyatakan kliennya Mark Sungkar telah jadi tumbal kebijakan yang bertendensi kriminalisasi.
Menurutnya, kliennya merupakan korban kebobrokan manajemen Kemenpora RI dalam perkara dugaan korupsi anggaran Pelatnas Prima Triathlon di kementerian tersebut.
“Kami berharap proses peradilan yang sedang berlangsung ini dapat berjalan secara objektif dan imparsial. Agar kebenaran materil dan substantif dapat ditegakkan, termasuk bagi pihak Mark Sungkar,” ujar Fahri dalam rilis yang diterima infomalukunews.com, Senin (8/3/2021).
Menurutnya, perkara yang masih diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat ini perlu dicermati masyarakat.
Terkait itu, Fahri mengatakan pihaknya ingin meluruskan informasi yang berkembang soal pemberitaan perkara yang seolah-olah Mark Sungkar telah merugikan keuangan negara ratusan juta rupiah.
“Berpotensi mencemarkan nama baik klien kami. Untuk kepentingan itu kami hendak mendudukan persoalan ini pada konteks yang tepat dan proporsional,” tegas Fahri Bachmid.
Dijelaskan, Mark Sungkar selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Triatlon Indonesia PPFTI periode 2015-2019, sehingga berkompeten mengajukan proposal kegiatan ke Kemenpora RI kala itu.
Proposal tertanggal 29 Nopember 2017 itu diajukan secara professional kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) untuk keperluan Pelatnas Prima Triathlon Indonesia (Asian Games Indonesia 2018).
Mantan pengacara Presiden Jokowi – KH. Maaruf Amin ini menjelaskan, selama proses perjalanan kegiatan itu, seandainya Asisten Deputi Olahraga Prestasi Kemenpora tidak ingkar janji atau wanprestasi, maka surat perjanjian/MOU Pasal 7 nomor 1.a yang menyatakan bahwa setelah surat perjanjian ditandatangani pihak PPFTI akan menerima pembayaran sebesar 70%. Namun realisasinya, dana diduga sengaja ditransfer pada hari lomba dimulai.
Terkait tertundanya pembayaran, hal serupa juga terjadi saat Test Event Road To Asian Games 2017. Yang seharus nya 70% atau senilai Rp. 729.000.000 sudah diterima oleh PPFTI paling lambat bulan April tahun berjalan, namun dengan berbagai alasan, MOU baru disodorkan untuk ditandatangani dua hari sebelum
Kejuaraan Asian Triathlon Championship dimulai.
“Ini kenyataan, fakta. Dan uang baru dicairkan 15 jam sebelum acara dimulai. ini merupakan hal yang sangat eksentrik, jika negara tidak sungguh-sungguh mengelola sektor keolaragaan seperti ini,” tandas Fahri.
Ironisnya, semacam itu juga dilakukan tanpa pemberitahuan kliennya, Mark Sungkar. Karena itu sungguh aneh, kata Fahri, jika PPFTI dituding tak taat aturan dan laporan fiktif.
Di sisi lain ada fakta keterangan dari sdri.Sita yang merupakan penanggjawab yang mengurus laporan keuangan dan dibantu oleh sdr. Ricky, bahwa lamanya laporan hingga tak kunjung selesai juga disebabkan staf bagian keuangan Kemenpora, Armand.
Faktanya, hingga tanggal 5 Oktober 2018, pihak Armand belum bisa menyerahkan bukti pengeluaran biaya-biaya TC di Jawa Timur (Jatim).
Akhirnya dengan itikad baik kliennya memutuskan untuk membantu penyelesaian masalah tersebut dengan mengundang pihak PPFTI Pusat yakni Sita dan Ricky, maupun pihak Arman yang diwakili oleh dua orang bagian keuangan.
Dan saat itulah pertama kali bagi kliennya, mengetahui soal juknis anggaran setelah paparan oleh Ricky. Bahwa setelah sama-sama mencermati juknis anggaran tersebut perwakilan dari Armand meminta waktu dua minggu untuk menyelesaikan laporannya.
Tetapi kemudian, sdri. Sita melaporkan bahwa Sebagian laporan baru diterima olehnya 19 hari setelah pertemuan, yaitu pada 24 Oktober 2019.
“Jadi, tak mungkin ada asap jika tak ada api, ada semacam keadaan yang sifatnya kausalitas dalam konteks itu,” Fahri Bachmid, menjelaskan.
“Jadi sekali lagi, yang berhutang ini siapa jadinya? Dalam perkara ini,” tambah Fahri.
Ia menilai, negara seperti mempersulit pencairan dana dan laporan dipersulit dengan berbagai cara. Antara lain, berkas yang sudah diserahkan dikatakan belum diterima ataupun terselip dan minta untuk dikirim ulang dan lain-lain.
Alhasil, proses berkaitan kegiatan tersebut berjalan sangat lama. Bahkan diisukan, Ketua Umum PPFTI Mark Sungkar tidak kooperatip dan sulit dihubungi.
Sementara tim Likuidasi Kemenpora yang menangani kasus yang tidak terselesaikan ini meminta pertanggunjawaban dari Ketum PPFTI melalui wawancara secara langsung.
Dan setelah tiga kali pertemuan, tim Likuidasi tersebut justru menyatakan hal yang membuat pihak Mark Sungkar terkejut dan terharu.
“Kata-kata tim Likuidasi, bilang begini, Mark Sungkar, anda selama ini ternyata telah dikriminalisasi,” urai Fahri seraya menirukan perkataan tim tersebut.
Setelah itu, sambungnya, keluar surat dari tim Likuidasi tanggal 17 Juni 2019 kepada Inspektorat Kemenpora RI dan LPDUK Kemenpora RI dengan perihal: Penyelesaian Tunggakan Pembayaran kepada Pimpinan Pusat FTI yang jumlahnya sebesar Rp. 562.310.000,-,
Dengan produk surat itu, kata Fahri, pada prinsipnya negara melalui Kemenpora wajib membayar kepada PPFTI dalam jumlah tersebut.
Setelah satu bulan tidak ada tanggapan dari kedua instansi tersebut, lanjut dia, kliennya diminta mengirim surat untum mempertanyakan perihal tersebut.
“Namun sampai hari ini tidak ada etikad baik untuk membayar ataupun untuk merespons hal yang menjadi kewajiban negara kepada kliem kami. Lalu siapa yang berhutang?,” tandas Fahri Bachmid.
Prinsip pengunaan anggaran sebagai bagian dari sistem pertanggung jawaban pengunaan keuangan telah sesuai dengan peruntukan dalam sebagaimana telah diatur dalam Juknis, yaitu untuk membayar honorarium atlet, pelatih, manager dan lainnya,
Namun karena dianggap tidak sesuai peruntukan maka seluruh dana yang telah diterima Rp. 694.900.000 seharusnya dikembalikan.
“Dengan kata lain, perjuangan mereka untuk Merah Putih tidak atau belum dibayar. Walaupun keringatnya sudah kering,” kata Fahri.
Jumlah Rp 399.700.000 hanya dibayarkan untuk honor Wakil Kapanpel Pertandingan, test event 2017, Wakil Kapanpel Venue Test Event 2017, sementara yang lain yang belum menerima haknya.(pom)